Memilih acuan untuk mengukur kerataan balok ukur

Artikel asli dimuat di Blog LIPI http://u.lipi.go.id/1295333879

Ini adalah pertanyaan mengenai kalibrasi balok ukur (gauge block) dari seorang pengelola salah satu laboratorium kalibrasi:

Saya ingin menanyakan untuk kalibrasi Gauge Block yang sampai dengan Grade 0, pada saat mengukur flatness daripada Gauge Block Grade 0, kami menggunakan Optical Flats dengan nilai Flatness sebesar 0.1um (mikro meter) dan ketebalan (thickness) sebesar 15mm;
dari pembicaraan by phone minggu lalu, saya mendapatkan informasi dari Bapak bahwa alat untuk mengukur flatness dari GB haruslah lebih presisi 3x (tiga kali) dari flatness GB yang mau diukurkan. kalau boleh tau, nolai lebih presisi 3x (tiga kali) tersebut tercantum dimana ya Pak? karena pada JIS GB Calibration yang saya gunakan tidak tercantum secara detail, mungkin ada hal yang terlewatkan dari saya? Mohon arahannya.
(saya melihat bahwa Grade 0 GB, memiliki flatness sebesar 0.1um)

Jawaban saya:

Saya perjelas: untuk mengecek kerataan gauge block (yang diharapkan mempunyai nilai kerataan tidak lebih dari 0,1 mm), maka kita perlu acuan yang tiga kali lebih baik; dalam hal ini, acuan itu harus mempunyai nilai kerataan 1/3 x 0,1 mm ~= 0,03 mm. Artinya, perlu optical flat yang nilai kerataannya 0,03 mm atau lebih baik.

Ini memang aturan normatifnya, tetapi secara praktik memang tidak mudah mencari optical flat dengan kerataan ≤ 0,03 mm (ini belum memperhitungkan ketidakpastian kalibrasi optical flat tersebut). Di beberapa laboratorium, aturan tentang kerataan gauge block ini tidak diterapkan dengan ketat; umumnya selama gauge block itu masih bisa wringing, maka dianggap kerataannya tidak menurunkan performanya.

gauge block, balok ukur, flatness, kerataan

Memilih nilai-nilai nominal untuk kalibrasi mikrometer

Artikel asli terbit di Blog LIPI http://u.lipi.go.id/1302574647

Pertanyaan:

Kami mau tanya masalah prinsip kalibrasi Micrometer Outside dalam metode/teori panjang nominalnya sebagai berikut :

2.5, 5.1, 7.7, 10.3, 12.9, 15.0, 17.6, 20.2, 22.8, 25.0

Sedangkan Gage Block yang kami punya sebagai berikut :

1, 2, 3, s/d 25mm dan 1.1, 1.2, 1.3 s/d 1.9mm

Jadi kalau kami akan kalibrasi menurut standar/ teori kami harus wringing semua kecuali ukuran 15 dan 25 mm. Apakah kami boleh melakukan kalibrasi di titik yang diluar standar/ teori yang berlaku misalkan :

2, 5, 8, 10, 13, 15, 18, 20, 23, 25mm

Jawaban:

Prinsip kalibrasi adalah menguji kinerja alat ukur dalam berbagai kondisi yang mungkin terjadi pada saat alat tersebut diukur. Berbagai kondisi pemakaian tersebut menimbulkan macam-macam pengaruh pada hasil pengukuran.

Mikrometer mengalami efek putaran pada muka ukur spindle-nya, sehingga jika muka ukur tersebut tidak sejajar, maka rotasi muka ukur itu bisa menyebabkan perubahan pada dimensi aktual muka ukur.

Jika kita mengalibrasi mikrometer pada posisi-posisi pecahan (yaitu pada nilai ukur yang bukan kelipatan bulat dari 0,5 mm), maka kita bisa menguji seberapa besar efek ketidaksejajaran muka ukur terhadap hasil ukur.

Sebaliknya, jika kita hanya mengalibrasi mikrometer pada nilai ukur yang berupa bilangan bulat atau kelipatan bulat dari 0,5 mm, maka kita belum bisa menguji efek ketidaksejajaran tadi. Jika kita tidak tahu seberapa besar penyimpangan pada posisi non-integer tadi, maka kita harus memperbesar nilai ketidakpastian pengukuran.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kalibrasi mikrometer memang sebaiknya dilakukan pada nilai-nilai ukur non-integer; jangan hanya pada nilai-nilai integer atau kelipatan integer dari 0,5 mm.

 

Rentang ukur dalam CMC dan bukti pendukungnya

Artikel asli terbit di Blog LIPI http://u.lipi.go.id/1391615904

Berikut ini pertanyaan yang diajukan lewat email pribadi:

Yth Pak Probo,
Apa kabar….
Saya mau bertanya terkait judul diatas dalam kaitannya dengan maksimum rentang ukur yang diajukan.
Apakah rentang ukur yang pernah kita melakukan kalibrasi, ataukah meskipun kita belum melakukan kalibrasi tetapi alat standar kita mampu, apakah bisa seperti itu ?
Misal jika saya punya caliper checker 630 mm, dan aktual pernah ngalibrasi caliper yang 150 mm, maka saya sah-sah saja mengajukan range lain yakni 0~600 mm. begitu pak ?
Ini saya tanyakan kaitannya dengan definisi BMC dan CMC.
Sepengetahuan saya dulu, harus yang aktual dalam arti pernah dikerjakan.
Namun kembali ke pertanyaan, kalau alat standar kita mampu, dan dengan pembuktian / audit dengan range yang ada misal 0~150mm terbukti qualified, maka tidak ada alasan untuk menahan lab mengajukan 0~600 mm caliper.
Apakah begitu Pak ?

Terima kasih atas sharing ilmu yang diberikan.

Pertama, istilah BMC sudah tidak digunakan lagi. “Best measurement capability” dulu merujuk ke nilai ketidakpastian yang terkecil yang dapat kita hasilkan untuk suatu jenis pengukuran atau kalibrasi tertentu.
Sekarang yang digunakan adalah istilah CMC (Calibration and Measurement Capability), dan di dalam CMC ini ada beberapa elemen, salah satunya adalah “nilai ketidakpastian pengukuran”. Jadi, mari kita gunakan istilah “nilai ketidakpastian dalam CMC” untuk hal yang dulu disebut “BMC”.

Kedua, akreditasi berlandaskan bukti teknis. Kalau sebuah lab ingin diakui kompetensinya dalam melakukan suatu jenis pengukuran atau kalibrasi yang masuk dalam CMCnya, maka dia harus bisa membuktikan hal itu. Artinya, harus ada bukti atau rekaman bahwa lab tersebut pernah melakukan hal yang diklaim dalam CMC. Rekaman tersebut harus sesuai dengan rentang ukur, metode dan nilai ketidakpastian yang akan diklaimnya dalam CMC.

Jadi, kalau lab belum punya rekaman pernah melakukan kalibrasi kaliper 600 mm, maka ia belum dapat diakreditasi untuk rentang itu; meskipun lab tersebut punya standar kalibrasi dengan rentang 600 mm. Jika lab punya pengalaman mengalibrasi sampai dengan 150 mm, atau bahkan 300 mm, belum ada jaminan bahwa ia akan dapat melakukan hal yang sama untuk rentang sampai dengan 600 mm.

Kalau pun lab diakreditasi untuk rentang 600 mm walaupun ia belum punya bukti yang mendukung klaim CMC itu, pada suatu saat jika diadakan UBLK dengan artefak yang mempunyai rentang 600 mm, lab harus dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam UBLK tersebut. Jika hasilnya tidak memuaskan, atau bahkan jika lab memilih untuk tidak ikut UBLK tersebut, konsekuensinya rentang ukur dalam CMC lab tersebut harus diturunkan.

Jadi, kesimpulannya: klaim rentang ukur yang diajukan dalam CMC, cepat atau lambat harus dapat dibuktikan; jika tidak ada bukti, maka CMC bisa ditolak atau dibatalkan.

Teodolit dan CMM: pengujian atau kalibrasi?

Kalibrasi vs. Pengujian

Dalam proses akreditasi untuk “kalibrasi” alat ukur jenis teodolit dan CMM, sering muncul pertanyaan: apakah kedua jenis alat tersebut dikalibrasi atau diuji?

Saat ini standar yang ada untuk jenis alat teodolit, autolevel dan CMM adalah untuk pengujian, bukan kalibrasi.

Apa beda pengujian dan kalibrasi? Pengujian pada dasarnya bertujuan mengecek apakah suatu objek masih sesuai dengan spesifikasinya. Dalam konteks yang luas, pengujian bisa mencakup kalibrasi, tetapi pada umumnya hanya mencakup hal-hal yang tidak masuk dalam cakupan kalibrasi.

Kalibrasi, di sisi lain, secara spesifik adalah pengujian untuk memastikan ketertelusuran hasil pengukuran suatu alat ukur. Definisi lengkap menurut VIM (Kosakata Internasional Metrologi) adalah (terjemahan bebas): “kegiatan… yang menghubungkan suatu nilai besaran… dari suatu standar pengukuran, dan penunjukan [alat ukur], serta menggunakan informasi tersebut untuk mendapatkan hasil ukur yang benar dari penunjukan [alat ukur]”.

Kalau diringkas, perbedaannya:

  • kalibrasi: keluarannya berupa jaminan ketertelusuran untuk hasil pengukuran suatu alat ukur atau standar ukur
  • pengujian: keluarannya berupa jawaban untuk pertanyaan “apakah alat ini masih berfungsi sesuai dengan peruntukannya?”

Teodolit

Kalibrasi teodolit diuraikan dalam standar ISO seri 17123. Pada dasarnya, metode yang diuraikan dalam standar tersebut adalah metode untuk menguji salah satu parameter kinerja, yaitu konsistensi penunjukan skala sudut (untuk teodolit) jika sumbu horisontal dan vertikal masing-masing dibalik 180 ° untuk membidik suatu titik objek yang sama. Secara teoretis, jika teodolit dibidikkan pada suatu objek dan menunjukkan nilai [X1,Y1], lalu sumbu vertikal dan sumbu horizontal dibalik sehingga membidik objek yang sama lagi dan menunjukkan nilai [X2,Y2], maka seharusnya nilai (X2-X1) = 180 °, begitu pula (Y2-Y1) = 180 °. Dalam kenyataannya, karena ada kesalahan mekanis dalam sumbu teodolit, nilai-nilai tersebut belum tentu persis seperti itu. Sebuah teodolit dianggap masih sesuai jika selisih nilai (X2-X1-180) berada dalam rentang nilai tertentu.

Dalam metode pengujian yang diuraikan di atas, objek yang digunakan adalah titik sembarang di lapangan yang luas (untuk mensimulasi situasi pengukuran sesungguhnya), bukan titik yang ditentukan posisinya secara tepat. Oleh karena itu, hasil pengujian di atas tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan “apakah nilai penunjukan sudut pada teodolit sesuai dengan nilai sebenarnya?”. Dengan kata lain, pengujian di atas tidak dapat dianggap sebagai kalibrasi.

Kalibrasi teodolit secara teoretis dapat dilakukan dengan dua cara:

  • membandingkan skala penunjukannya terhadap skala standar, misalnya rotary encoder;
  • menguji penunjukannya dengan membidik beberapa objek yang posisi angularnya diketahui dengan tepat.

Dalam praktiknya, kalibrasi teodolit seperti di atas sangat jarang dilakukan. Mungkin hanya dilakukan di pabrik pembuatnya pada saat teodolit tersebut diproduksi.

Kembali kepada metode pengujian teodolit yang diuraikan di atas, objek ujinya adalah titik-titik yang diletakkan secara sembarang di lapangan yang luas, dengan jarak hingga 100 m. Untuk menguji skala horisontal, empat atau lima objek diletakkan dalam rentang 360 °. Sedangkan untuk skala vertikal, tiga atau empat objek dalam rentang ± 30 °.

Dalam praktiknya, pengujian teodolit dapat dilakukan di dalam ruangan. Untuk mensimulasikan pengukuran objek yang jaraknya jauh, digunakan kolimator. Prinsip kerja kolimator dalam hal ini adalah mensimulasikan dua titik, masing-masing pada jarak dekat dan jarak sangat jauh (hampir tak berhingga). Kembali, mengacu kepada metode di atas, maka kolimator ini pun bukan standar ukur, sehingga tidak memerlukan kalibrasi. Yang perlu diuji dari kolimator tersebut hanyalah konsentrisitas titik dekat dan titik jauh dengan sumbu optisnya.

Secara teoretis, tentu ada perbedaan antara kondisi pengukuran di luar ruangan dengan di dalam ruangan. Di luar ruangan, khususnya di lapangan yang sangat tidak terkondisikan, terjadi gangguan optis yang sangat besar sehingga pengukuran di lapangan tidak bisa sepresisi pengukuran di dalam ruangan. Pengukuran di dalam ruangan tentunya dapat memberikan hasil yang lebih presisi, tetapi hal tersebut bukan berarti lebih baik; hasil yang lebih presisi tersebut justru tidak menggambarkan kondisi sebenarnya jika pengujian tersebut dilakukan di lapangan.

Sebagai jembatan antara metode baku (ISO 17123, di luar ruang) dengan metode modifikasi (menggunakan kolimator di dalam ruangan), semestinya ada semacam uji banding agar lab bisa mengestimasi seberapa besar perbedaan antara pengujian di luar ruang dan di dalam ruang.

Kesimpulan 1

  1. “Kalibrasi” teodolit menurut standar seri ISO 17123 bukanlah kalibrasi, melainkan pengujian kinerja. Oleh karena itu, layanan yang mengacu kepada metode ISO 17123 sebaiknya tidak disebut “kalibrasi”.
  2. Sarana pengujian teodolit menurut metode ISO 17123 adalah objek sembarang, sehingga tidak memerlukan kalibrasi. Jika menggunakan kolimator, maka kolimator tersebut tidak perlu dikalibrasi karena fungsinya bukan sebagai alat ukur.
  3. Lab yang melakukan pengujian teodolit di dalam ruang perlu membuat estimasi seberapa besar nilai ketidakpastian yang mungkin terjadi jika pengujian/pengukuran dilakukan di lapangan.

CMM

Mirip dengan pengujian teodolit, metode ISO 10360 adalah untuk pengujian kinerja CMM, bukan kalibrasi.

Ketepatan pengukuran sebuah CMM dipengaruhi oleh parameter dimensional berikut ini:

  • ketepatan skala pada sumbu x, y dan z;
  • ketegaklurusan antara pasangan sumbu x-y, y-z dan x-z;
  • kelurusan tiap-tiap sumbu x, y dan z;
  • “roll” pada tiap-tiap sumbu x, y dan z.

Semua parameter di atas mempengaruhi ketepatan pengukuran koordinat tiga dimensi pada CMM.

Perlu diingat bahwa CMM pada umumnya digunakan untuk mengukur parameter dimensional misalnya diameter, sudut, jarak antartitik, kelurusan, kesejajaran, kebundaran, dan parameter dimensional lainnya. Artinya, besaran yang diukur bukanlah besaran panjang pada satu dimensi, melainkan besaran pada tiga dimensi.

Pengujian yang mengacu kepada metode ISO 10360 pada dasarnya menguji parameter dimensional yang disebut di atas, tetapi tidak memberikan ketertelusuran langsung terhadap hasil pengukuran yang dilakukan oleh CMM tersebut nantinya. Contoh: jika CMM tersebut digunakan untuk mengukur diameter sebuah objek, sebetulnya CMM mengukur koordinat dari beberapa titik, lalu menghitung koordinat tersebut dalam matriks tiga dimensi untuk menentukan nilai diameter tersebut.

Pengujian parameter-parameter CMM seperti di atas baru dapat memberikan ketertelusuran jika nilai penyimpangan pada setiap parameter dimasukkan ke dalam perangkat lunak CMM dan otomatis diperhitungkan sebagai kompensasi. Namun, tidak ada hubungan langsung antara, misalnya, kesalahan pada posisi 10 mm di skala sumbu x, dengan pengukuran diameter sebesar 10 mm.

Secara teknis, maka pengujian CMM yang mengacu ke ISO 10360 hanya dapat disebut sebagai pengujian, jika hasil pengujian tersebut hanya penilaian kesesuaian terhadap batasan kesalahan yang diizinkan untuk tiap parameter secara terpisah.

Pengujian CMM seperti disebut di atas baru bisa disebut sebagai kalibrasi jika semua hasil pengukuran pada setiap parameter tersebut dimasukkan ke dalam perangkat lunak, dan perangkat lunak tersebut melakukan error mapping sehingga semua kesalahan tersebut terkompensasi dengan benar. Pada kenyataannya, jarang sekali sistem CMM yang mempunyai fasilitas ini; umumnya hanya CMM di lembaga metrologi kelas tinggi yang melakukannya. Jika pun hal tersebut dapat dilakukan, umumnya hanya dapat dilakukan oleh perusahan yang memproduksi CMM tersebut atau agen/distributornya, bukan lab kalibrasi umum.

Kesimpulan 2

  1. Pengujian CMM dengan metode ISO 10360 hanya dapat disebut sebagai “kalibrasi” jika nilai-nilai penyimpangan pada setiap paramater geometris dimasukkan ke dalam perangkat lunak CMM dan dipakai untuk melakukan kompensasi numerik.
  2. Jika tidak, maka layanan tersebut tidak bisa disebut “kalibrasi” dan sebaiknya disebut “pengujian”.

Praktik umum

Beberapa organisasi menggolongkan verifikasi CMM sebagai kalibrasi, bukan pengujian. Ada beberapa alasan, misalnya:

  1. Pelaksana verifikasi CMM umumnya adalah lembaga yang diakreditasi sebagai laboratorium kalibrasi (bukan laboratorium pengujian), sehingga mungkin akan terasa janggal jika salah satu layanan di dalam lingkup akreditasinya digolongkan sebagai “pengujian”.
  2. Tujuan verifikasi CMM adalah memastikan kebenaran hasil ukurnya (mirip dengan tujuan kalibrasi); walaupun nilai penunjukan CMM tidak bisa langsung dikoreksi, setidaknya ketidakpastian pengukurannya dapat dievaluasi berdasarkan data verifikasinya.

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, kita tetap perlu membedakan penamaan kegiatan kalibrasi dan pengujian. Sebagai jalan tengah, mungkin pengujian CMM dan teodolit dapat disebut sebagai “pengukuran kinerja”, karena pengukuran masih berkait erat dengan kalibrasi.

Literatur Metrologi

Bahan bacaan apa saja yang perlu dibaca oleh praktisi metrologi? Berikut ini sekelumit bahan bacaan rujukan kemetrologian.

Pengantar umum

Buku berjudul “Metrologi — In Short” diterbitkan oleh EURAMET, forum kerjasama lembaga-lembaga nasional metrologi di Eropa. Edisi kedua buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Puslit Metrologi LIPI. Buku ini berisi pengantar umum untuk mengenal bidang ilmu metrologi dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Versi bahasa Inggris, Edisi 3.

Terjemahan bahasa Indonesia, Edisi 2 (klik “unduh naskah PDF” di kolom kiri)

Referensi dasar

Empat hal dasar yang perlu dipahami oleh seorang praktisi metrologi adalah:

  1. Sistem Internasional Satuan (Système International d’Unités, SI). Ini adalah sistem satuan pengukuran yang digunakan secara internasional sejak tahun 1875. Dokumen ini mencakup definisi satuan pengukuran dasar SI, tatacara penulisan lambang satuan, dll. Dokumen ini diterbitkan oleh Biro Internasional Timbangan dan Ukuran (Bureau International de Poids et Mesures, BIPM).
  2. Kosakata metrologi internasional (International Vocabulary of Metrology – Basic and General Concepts and Associated Terms/VIM). Ini berisi definisi istilah-istilah baku yang digunakan dalam kegiatan metrologi. Dokumen ini dikelola oleh JCGM (sebuah komite di bawah BIPM) dan diberi kode JCGM 200.
  3. Panduan melaporkan ketidakpastian pengukuran (Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement, GUM). Ketidakpastian pengukuran adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dan pasti ada dalam suatu hasil pengukuran. Dokumen ini menguraikan metode baku untuk menentukan nilai ketidakpastian pengukuran dan cara melaporkannya. Dokumen ini juga dikelola oleh JCGM, dan dokumen utamanya mempunyai kode JCGM 100. Selain dokumen utama, terdapat pula dokumen pelengkap.
  4. Standar Kompetensi Laboratorium Pelaksana Kalibrasi (dan Pengujian). Sertifikat kalibrasi yang diterbitkan oleh laboratorium kalibrasi yang memenuhi persyaratan ini mempunyai nilai kepercayaan yang tinggi. Dokumen standar ini dikelolah oleh Organisasi Standardisasi Internasional (ISO) dan Komisi Elektroteknis Internasional (IEC) dengan kode ISO/IEC 17025. Standar ini telah diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia di bawah pengelolaan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan kode SNI ISO/IEC 17025.

Selain ISO/IEC 17025 dan SNI ISO/IEC 17025, semua dokumen di atas dapat diperoleh tanpa biaya.

The International System of Units (SI)

http://www.bipm.org/en/publications/si-brochure/

Teks bahasa Inggris (Edisi 8)

International Vocabulary of Metrology – Basic and General Concepts and Associated Terms (VIM)

Guide to the Expression of Uncertainty in Measurement (GUM)

Kedua dokumen di atas (dan dokumen pelengkap untuk GUM) dapat diunduh di situs BIPM di bawah ini.

http://www.bipm.org/en/publications/guides/

ISO/IEC 17025:2005

Dokumen ini bisa dibeli di situs ini.

http://www.iso.org/iso/catalogue_detail.htm?csnumber=39883

SNI ISO/IEC 17025:2008

http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/9509

Sesuai dengan aturan ISO, SNI ini tidak dapat diunduh secara gratis dari situs BSN. Namun, jika dicari di jaringan internet, mungkin ada yang menyediakan untuk diunduh.

Referensi Tambahan

Beberapa lembaga metrologi nasional yang terkemuka di dunia menerbitkan banyak dokumen rujukan teknis terkait metrologi.

National Institute of Standards and Technology (Amerika Serikat):

Lab Metrology Resources

http://www.nist.gov/pml/wmd/labmetrology/resources.cfm

Engineering Metrology Toolbox

http://emtoolbox.nist.gov/Main/Main.asp

NIST Handbooks

http://www.nist.gov/pml/wmd/pubs/handbooks.cfm

NIST Special Publications

http://www.nist.gov/pml/wmd/pubs/special-pubs.cfm

National Physical Laboratory (Inggris):

NPL Guides

http://www.npl.co.uk/publications/guides/

Daftar lengkap:

http://www.npl.co.uk/publications/guides/guides-by-number/

Measurement Standards Laboratory (Selandia Baru):

Technical Guides

https://msl.irl.cri.nz/training-and-resources/technical-guides

National Measurement Institute, Australia:

http://www.measurement.gov.au/Publications/Pages/Monographs.aspx

Jurnal

Journal of Research of the National Institute of Standards and Technology

http://www.nist.gov/nvl/jres.cfm

The answer to the 1 + 1 + 1 … puzzle

One plus one plus one

Semester Pertama di UST

Tidak terasa sudah dua bulan lebih saya memulai program PhD di University of Science and Technology (UST) di Daejeon, Korea Selatan.

Seperti saya ceritakan di tayangan sebelumnya, UST agak berbeda dengan universitas konvensional. Pertama, UST hanya menyelenggarakan program pascasarjana (Master dan PhD), tidak ada program sarjana. Semua program pascasarjana tersebut berbasis riset, tidak ada yang sepenuhnya berbasis kuliah. Kedua, program studinya diselenggarakan bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset di Korea Selatan. Jadi sebagian besar perkuliahan tidak dilakukan di kampus UST, melainkan di lembaga-lembaga riset mitranya. Tentunya juga kegiatan risetnya, yang disesuaikan dengan kegiatan riset yang sedang berjalan di lembaga riset tersebut.

Sistem kerjasama ini memberikan keuntungan timbal balik. Lembaga-lembaga riset mitra UST mendapat keuntungan yaitu dapat mempekerjakan para mahasiswa sebagai peneliti tamu. Di sisi lain, para mahasiswa UST mendapat kesempatan melakukan riset aktual di lembaga riset yang mengelola riset-riset paling canggih di Korea Selatan. Dengan menggandengkan UST dengan lembaga-lembaga riset, maka para mahasiswa yang sudah berhasil merampungkan risetnya di lembaga mitra tersebut bisa memperoleh gelar pascasarjana.

Beasiswa untuk para mahasiswa disediakan oleh lembaga-lembaga riset tersebut. Besarnya beasiswa bulanan sangat mencukupi biaya kebutuhan hidup, biaya studi (termasuk uang kuliah), serta biaya tiket pesawat pulang pergi.

Dalam skema kerja sama ini, UST menyebut lembaga-lembaga mitra tersebut sebagai “kampus”; jadi kalau seorang mahasiswa UST disebut berlokasi di “Kampus A”, maksudnya adalah riset mahasiswa tersebut dilakukan di Lembaga A, dan Lembaga A itu pula yang menyediakan beasiswa untuk mahasiswa tersebut.

Daejeon

Daejeon adalah sebuah kota metropolitan di Korea Selatan, kota terbesar kelima di negara tersebut. Salah satu keistimewaannya adalah banyaknya lembaga-lembaga riset di kota ini, baik milik pemerintah maupun perusahaan swasta. Kemajuan teknologi Korea Selatan dalam dua puluh tahun terakhir sudah dikenal secara luas, dan tentunya kemajuan teknologi ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya kegiatan riset yang serius. Maka tidak salah jika UST berpusat di kota ini. Banyak lembaga penelitian mitra UST yang berlokasi di kota ini.

Peta Korea Selatan

Peta Korea Selatan

KRISS

Korea Research Institute of Standards and Science (KRISS) adalah lembaga metrologi nasional Korea Selatan, yaitu lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan standar pengukuran acuan di negara tersebut. Sesuai fungsinya, lembaga ini merupakan counterpart lembaga tempat saya bekerja di Indonesia, yaitu Pusat Penelitian Metrologi, LIPI. Karena kesamaan fungsi itulah maka saya memilih KRISS sebagai kampus saya di UST.

NB: Di tayangan sebelumnya, sudah saya ceritakan proses ketika saya melamar program beasiswa ini melalui calon pembimbing saya, seorang peneliti senior di KRISS yang juga profesor di UST.

Kampus KRISS terletak di sebelah utara kota Daejeon, di dalam sebuah kawasan yang disebut Daedeok Innopolis, yaitu kawasan tempat berdirinya beberapa lembaga penelitian. Selain gedung administrasi dan gedung-gedung laboratorium, terdapat juga fasilitas pendukung seperti kantin, restoran, bank, gedung dan lapangan olahraga, tempat penitipan anak, dan asrama atau wisma tamu.

Denah Kampus KRISS

Denah Kampus KRISS

Kehidupan sehari-hari di KRISS

Kebetulan Kampus UST juga berlokasi di dalam kompleks KRISS, jadi saya tidak perlu pergi jauh dalam kegiatan perkuliahan karena saya tinggal di asrama KRISS. Dari asrama ke gedung laboratorium maupun ke kampus UST hanya perlu jalan kaki 5 menit saja.

Dengan situasi seperti ini, maka irama hidup saya sehari-hari tidak terlalu seperti mahasiswa, melainkan lebih mirip seperti pegawai KRISS. Setiap hari saya datang ke ruang kerja di KRISS (yang disediakan untuk peneliti tamu) dengan jadwal seperti jam kerja normal, yaitu pukul sembilan pagi hingga pukul enam sore. Pada semester pertama ini saya hanya mengambil dua kuliah; satu kuliah inti yang diadakan di KRISS (dan diajar oleh staf peneliti KRISS), dan satu kuliah pendukung, yaitu pelajaran bahasa Korea, di UST. Jadi kalau tidak ada kuliah, maka saya menghabiskan waktu di ruang kerja.

Setiap hari saya makan siang dan malam di kantin KRISS, termasuk juga di akhir pekan. Kantin ini menyediakan makanan dengan harga tidak mahal. Ini menguntungkan karena secara ekonomis terjangkau dengan uang tunjangan saya, dan lebih praktis dibandingkan harus memasak sendiri. Jenis masakannya cukup bervariasi dan bergizi seimbang. Untungnya saya tidak punya pantangan atau larangan makan makanan tertentu, jadi saya hampir tidak pernah punya masalah dengan menu yang disajikan.

Menu makan siang sehari-hari di kantin KRISS

Menu makan siang sehari-hari di kantin KRISS. Selalu ada nasi, daging/ikan/telur, sayur, dan tentunya kimchi.

Asrama atau wisma tamu KRISS disediakan untuk peneliti tamu (termasuk para mahasiswa UST di kampus KRISS). Ada kamar yang berkapasitas satu orang, ada yang dua orang. Kamar untuk satu orang dikhususkan untuk tamu jangka pendek dan peneliti pascadoktoral. Setiap kamar mempunyai kamar mandi sendiri. Di dalam kamar tersedia tempat tidur beserta kasur, meja kerja dan kursi, lemari pakaian dan lemari barang. Oh ya, ada sambungan internet dengan kecepatan hingga 100 Mbps, gratis. Kamar untuk satu orang dilengkapi dengan dapur kecil. Sarana umum yang tersedia adalah dapur sekaligus ruang makan, ruang cuci dengan mesin cuci yang bisa dipakai bebas biaya, dan ruang olahraga dengan perangkat latihan kebugaran lengkap yang juga bisa dipakai secara gratis. Penghuni bertanggung jawab atas kebersihan kamar masing-masing, tidak ada petugas yang membersihkan kamar secara rutin. Semua fasilitas ini dapat dinikmati oleh penghuni dengan membayar biaya bulanan yang cukup murah, yaitu 80 ribu won per orang untuk kamar berkapasitas dua orang, dan 150 ribu won untuk kamar tunggal.

Kamar di asrama ini ternyata sangat nyaman di musim dingin. Saat ini suhu udara di luar bisa mencapai 0 °C, tetapi suhu udara di dalam kamar terjaga di atas 21 °C (cukup hangat jika kita sudah terbiasa dengan udara dingin). Selain karena menggunakan dinding ganda dan jendela ganda sebagai isolator panas, juga ada sistem pemanas ruang yang ditanam di bawah lantai kamar.

Ya, begitulah kehidupan sehari-hari saya saat ini di KRISS, Daejeon.

Suhu kerja laboratorium kalibrasi: penetapan, pemantauan dan pelaporan

Salah satu syarat yang perlu dipenuhi sebuah laboratorium kalibrasi adalah terpeliharanya suhu ruangan pada nilai tertentu. Hal ini diperlukan karena suhu berpengaruh terhadap hasil pengukuran beberapa besaran tertentu, misalnya panjang dan massa. Oleh karena itu laboratorium kalibrasi harus menentukan dalam batas rentang suhu berapakah kalibrasi boleh dilakukan. Setelah itu laboratorium harus berusaha mengondisikan ruangan agar masuk dalam rentang tersebut, dengan melakukan pemantauan dan pencatatan. Lalu dalam laporan hasil kalibrasi, suhu pada saat kalibrasi harus dilaporkan sebagaimana adanya.

Penetapan batas suhu

Laboratorium harus menetapkan pada rentang suhu berapa sajakah suatu jenis kalibrasi dapat dilakukan. Seperti disinggung di atas, suhu mempengaruhi hasil pengukuran, misalnya pada besaran massa dan besaran panjang. Untuk kedua besaran ini, biasanya suhu acuannya adalah 20 °C. Besaran lain mempunyai suhu acuan yang mungkin berbeda, tetapi prinsipnya sama: jika suhu mempengaruhi hasil pengukuran, maka batas tersebut harus ditetapkan.

Pertama, harus diketahui bagaimana suhu mempengaruhi hasil pengukuran. Ini dapat dilihat dari model matematis pengukuran tersebut. Untuk pengukuran panjang misalnya, model matematisnya yang sederhana adalah sebagai berikut:

LT = L0 (1 + α⋅ΔT)

dengan

LT = panjang benda pada suhu T

L0 = panjang benda pada suhu acuan (misalnya 20 °C)

α = koefisien muai termal benda yang diukur

ΔT = selisih antara suhu aktual dan suhu acuan

Dari model matematis tersebut, lakukan evaluasi ketidakpastian pengukuran sehingga diketahui besarnya ketidakpastian pengukuran pada suhu tertentu. Misalnya untuk kalibrasi suatu jenis alat ukur, didapatkan hasil seperti tabel di bawah ini:

T U
20 °C 0,6 µm
21 °C 0,8 µm
22 °C 1,0 µm
23 °C 1,3 µm
24 °C 1,6 µm

Dari data di atas, bandingkan dengan kesalahan terbesar (MPE) yang diizinkan untuk jenis kalibrasi tersebut. Atau, untuk kasus pengukuran, lihat toleransi yang ditetapkan untuk jenis pengukuran tersebut. Idealnya, ketidakpastian pengukuran tidak boleh lebih dari sepertiga MPE atau toleransi benda ukur.

Misalkan bahwa MPE untuk alat ukur di atas adalah 3 µm. Berarti, idealnya nilai ketidakpastian pengukuran tidak lebih dari 1 µm. Maka, kalibrasi tersebut dapat dilakukan pada suhu tidak lebih dari 22 °C. Jika suhunya mencapai 23 °C, maka hasil kalibrasi sudah tidak layak karena nilai ketidakpastian sudah terlalu besar (lebih dari sepertiga MPE). Dari perhitungan ini, maka laboratorium perlu menetapkan batas suhu kalibrasi sebagai (20 ± 2) °C.

Perhatikan bahwa penetapan batas suhu kalibrasi idealnya dilakukan dengan menghitung nilai ketidakpastian pengukuran seperti di atas, bukan sekedar mengikuti suatu aturan atau ketentuan baku.

Pemantauan suhu

Setelah laboratorium menetapkan batas suhu kalibrasi seperti di atas, hal berikutnya  yang harus dilakukan:

  1. Mengusahakan agar suhu ruangan kalibrasi, standar kalibrasi dan objek kalibrasi berada dalam batas tersebut,
  2. Memantau dan merekam suhu ruangan kalibrasi, dan
  3. Mengambil tindakan bilamana suhu ruangan kalibrasi keluar dari batas yang diperbolehkan.

Nomor 1 dapat dicapai dengan menggunakan sistem tata udara (air conditioning system) yang memadai. Sedangkan nomor 2 dicapai dengan menggunakan alat ukur yang terkalibrasi dan cukup presisi, misalnya termometer digital dengan resolusi 0,1 °C yang sudah dikalibrasi.

Pemantauan dan perekaman dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Cara manual artinya ada seseorang yang secara berkala membaca termometer tersebut dan mencatat penunjukannya.

Untuk nomor 3, tindakan yang harus diambil adalah: pertama, menghentikan atau mencegah kegiatan kalibrasi yang terdampak oleh suhu tersebut. Kedua, berusaha memperbaiki sistem tata udara agar dapat memenuhi persyaratan tadi.

Pelaporan suhu dalam laporan kalibrasi

Sesuai dengan standar ISO/IEC 17025:2005, kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap hasil kalibrasi harus dicantumkan dalam laporan kalibrasi. Hal ini termasuk suhu ruangan.

Pelaporan suhu saat kalibrasi harus sesuai dengan kondisi sebenarnya, bukan sekadar menuliskan rentang batas yang menjadi persyaratan.

Contoh: laboratorium menetapkan untuk kalibrasi dimensional, suhu yang diperbolehkan adalah (20 ± 2) °C. Pada saat kalibrasi, penunjukan termometer adalah 20,8 °C. Ada koreksi sebesar +0,1 °C yang harus diterapkan pada termometer itu. Ketidakpastian pengukuran suhu (dengan memperhitungkan resolusi termometer, fluktuasi selama kalibrasi berlangsung, dan ketidakpastian pengukuran dalam sertifikat kalibrasi termometer) adalah 0,3 °C.

Maka, yang harus dicantumkan dalam sertifikat kalibrasi sebagai suhu pada saat kalibrasi adalah (20,9 ± 0,3) °C. Jangan mencantumkan nilai (20 ± 2) °C, karena nilai itu adalah nilai target, bukan nilai aktual.

Discovering Korea

I often got asked why I chose to do my PhD in Korea, not in some other countries more famous for their technological advances. So here’s the story.

My first encounter with Korea was in 2003 when I attended the annual meeting of the Asia Pacific Metrology Programme (APMP). APMP is the regional forum of national metrology institutes in the Asia Pacific region, and the institute where I work is a member of that organization. In the 2003 meeting of the APMP in Singapore, I saw a presentation by an expert from KRISS, the national metrology institute of South Korea. That was the first time I learn anything about Korea, and my first impression was that the South Korean metrology institute was quite an advance one, on par with the most advanced metrology institutes in Asia-Pacific region.

My second encounter was when I attended a three-week course in Korea about standardization, sponsored by the Korean International Cooperation Agency (KOICA) in 2004. The training program consists of classroom lectures, technical tours to industry, cultural experience and sight seeings (in approximately equal proportions). Naturally after spending three weeks in a country and exposed to its culture and nature, and eating the food, you’d grow a fondness of the country, right? To summarize, in three weeks I learnt that South Korea is quite an advanced country with interesting culture.

During the course I had a chance to visit KRISS, and I met again with the expert who made the presentation at the 2003 meeting. His name was Dr Chu-Shik Kang, and he was the head of the length metrology laboratory of KRISS, so he was my counterpart. He gave me a special tour of his lab.

Then in 2005, my institute got a visitor from KRISS, whose mission is to foster cooperation with national metrology institutes in developing countries. I was informed that KRISS had a special link with the University of Science and Technology (UST) in Korea, which enables people to get a postgraduate degree from the university by doing research work in KRISS.

The good thing about doing postgraduate study at UST is that students work mainly in the partnering research institute, doing research as well as routine work in the host institute. UST has this cooperation with several Korean research institutes. The host institutes provide stipend for the student, as if the student was an employee of the host institutes. They also pay the tuition fee to UST. The allowance is quite generous too.

I got further opportunity to work with Chu-Shik when the APMP organized an interlaboratory comparison activity for metrology institutes in developing countries. I was the coordinator of the comparison, and Chu-Shik was my mentor or coach. During the four-year program I met him several times. He was also appointed as a consultant when my institution had a major development program.

Sometime in 2006 I asked Chu-Shik about the possibility of doing PhD at KRISS/UST. Unfortunately at that time, he said that there was no research project in his department that could accommodate such undertaking, so I hold back my desire to get a PhD.

Anyway several years later, I asked him again about this idea. This time — I’m not sure whether an opportunity has been opened up in his department, or because he took pity on me — he answered that there is a possibility to do PhD in his department. So in 2014 I put in the application to UST, and was finally accepted. So here I am now, doing PhD in Daejeon, Korea, in the field of Science of Measurement.

Menentukan nilai drift alat ukur dari sertifikat kalibrasi

Tanya (dari sebuah email):

Dengan ini, kami mohon pencerahaanya mengenai cara menghitung nilai Drift untuk budget Uncertainty sbb:
1). jika pada Sertifikat Standard yang digunakan tidak ada nilai “U” nya. (Sertifikat Standard masih bawaan dari Maker)
2). jika pada Sertifikat Standard yang terakhir/terupdate ada nilai “U”nya tetapi pada Sertifikat Standard sebelum di Kalibrasi ulang tidak ada nilai “U” nya. (Sertifikat Standard masih bawaan dari Maker)

Jawab:

Drift tidak ada kaitannya dengan nilai ketidakpastian pengukuran dalam sertifikat kalibrasi.

Nilai ketidakpastian pengukuran dalam sertifikat kalibrasi merupakan pengaruh sumber-sumber ketidakpastian yang terdapat atau terjadi pada proses kalibrasi alat itu.

Yang berkaitan dengan drift adalah nilai koreksi atau nilai penyimpangan yang dilaporkan dalam sertifikat itu. Definisi drift sendiri adalah: perubahan nilai koreksi (atau nilai penyimpangan) dari waktu ke waktu. Karena itu, untuk mengetahui nilai drift suatu alat ukur atau standar ukur, kita harus melihat sertifikat kalibrasi alat itu dari 3 kali atau lebih kalibrasi. Idealnya, semua sertifikat kalibrasi itu harus dari laboratorium kalibrasi yang sama. Jika data ini tersedia, maka kita bisa mengestimasi berapa perubahan nilai koreksi per tahun atau per bulan, berdasarkan laju perubahannya.

Yang sering terjadi adalah: suatu alat ukur atau standar ukur masih relatif baru, sehingga riwayat atau sejarah kalibrasinya belum diketahui (misalnya, baru pernah dikalibrasi satu atau dua kali saja). Dalam hal ini, kita bisa mengestimasi nilai drift alat tersebut dari beberapa sumber:

  1. nilai drift untuk alat yang sejenis (dari pabrik yang sama) yang pernah kita miliki
  2. nilai drift tipikal untuk alat sejenis, dari hasil penelitian yang pernah dipublikasikan
  3. nilai drift maksimum yang diperbolehkan untuk alat sejenis itu, berdasarkan suatu standar spesifikasi.

Terkait dengan contoh kasus yang Bapak sampaikan, saya ingin mengingatkan: sertifikat kalibrasi tanpa nilai ketidakpastian pengukuran, tidak sesuai dengan ketentuan standar sistem manajemen mutu laboratorium kalibrasi, sehingga seharusnya tidak digunakan sebagai acuan (dengan demikian, ketertelusuran metrologisnya belum terjamin). Satu-satunya cara untuk menjamin ketertelusuran metrologis suatu hasil pengukuran atau kalibrasi adalah dengan meminta alat tersebut dikalibrasi di laboratorium kalibrasi yang kompeten dan memenuhi syarat-syarat ketertelusuran.

Semoga berguna.